Perkembangan
Sastra Jawa Era kapujanggan Sampai Era Pra Kemerdekaan
KETIKA pada tahun 1980-an Suripan Sadi Hutomo
menyebut sastra Jawa sedang memasuki era sastra majalah, lantaran karya-karya
yang ada hanya tersuguhkan lewat majalah, Suparto Brata pun gerah. Serasa tak
pernah lelah, dia kemudian melakukan ''perlawanan''. Seraya menganggap
ketergantungan pada majalah hanya akan membuat sastra Jawa menjadi sastra
bonsai, dia pun mengajak banyak pihak untuk menerbitkan karya dalam bentuk
buku. Tak cuma mengajak, tetapi juga jatuh-bangun mbandhani karya-kayanya.
Memang
semenjak berakhir era kapujanggan, yang ditandai oleh wafatnya pujangga R Ng
Ranggawarsita, sastra Jawa mengalami pasang-surut. Sastra Jawa tak lagi
menjadikan istana sebagai pusat kehidupannya. Itulah yang kemudian jamak
disebut sebagai sastra Jawa modern.
Berlanjut
sampai dengan masa penerbit Balai Pustaka, Institut Bahasa Jawa di Surakarta
yang menerbitkan tulisan CF Winter, Candranegara, Suryawijaya, dan Padmasusastra,
patut dicatat sebagai lembaga penting pada akhir abad ke-19 hingga menjelang
Kemerdekaan RI. Bersamaan dengan itu, majalah-majalah berbahasa Jawa atau yang
berbahasa campuran (Jawa, Melayu, Belanda) seperti Bromartani, Jurumartani,
Retnodumilah, Dharmo Kondho, Pustaka Warti, Islam Bergerak, Mawa, Penggugah,
Budi Utoo, Sedya Tomo, Jawikondho, Jawi Hiswara, Pustaka Jawi, dan Kejawen merupakan ladang penyemaian sastra
Jawa yang tak kalah penting. Itu belum termasuk penerbit swasta semacam Tan Khoen Swie di Kediri.
Kontribusi Terbesar
Namun
sebagaimana dicatat oleh Hutomo (1975), Rass (1985), dan Widati dkk (2001),
Balai Pustaka memiliki kontribusi terbesar dalam penerbitan karya sastra Jawa.
Dari sanalah lahir napas baru, antara lain lewat novel Serat Riyanta (1920) karya Sulardi, Ngulandara (1936) karya Margana Djajaatmadja, Tumusing Lelamahan Tiyang Sepuh (1927) oleh Danuja, Badan Sepata dan
Sapu Ilang Suhe karangan R Harjawiraga serta Sala Peteng (1938) oleh Mt
Supardi.
Pernah
mati untuk beberapa saat, Panjebar Semangat (terbit
kali pertama 2 September 1933) banyak mewarnai perkembangan sastra Jawa, bahkan
hingga kini bersama kalawarti lain yang bisa dihitung dengan jari. Seiring
dengan itu, sekalipun tetap ada penerbitan dalam bentuk buku, kehadiran
kalawarti tersebut tampak begitu dominan.
Tak berlebihan jika Hutomo menyebut kesusastran Jawa
sesudah 1945 merupakan kesusastraan majalah dan kesusastraan koran.
Lebih-lebih ketika pada tahun 1966-1970-an sastra Jawa
mengalami krisis, terutama setelah terjadi pembereidelan buku sastra Jawa oleh
Komres Surakarta (Operasi Tertib Remaja II Sala) pada tahun 1967. Kegiatan
sastra Jawa pun tampak lengang.
Semangat
yang menguar pada Sarasehan Sastra Jawa di Sasanamulya Surakarta awal 80-an
memang sempat menggairahkan dunia penerbitan sastra Jawa hingga awal 90-an. Di
luar publikasi lewat Panjebar Semangat, Jaya Baya, Djaka Lodhang, Mekar Sari, Jawa
Anyar, Panakawan, dan Pustaka Candra, terbit pula buku-buku oleh penerbit
''pasca''-Balai Pustaka. Di barisan pengarang novel terdapat nama seperti Ag
Suharti, Any Asmara, Imam Sarjono, Yunani, Tamsir As, Ardini Pangastuti, Nanik
PM, Harimuka, Suryadi WS, AY Suharyono, Suharmono Kasiyun, dan Suparto Brata.
Tak Mendongkrak
Sebagian
dari nama-nama itu juga meramaikan penerbitan buku kumpulan cerita cekak
(cerkak/cerita pendek) dan antologi gurit (puisi), di samping nama semacam
Krishna Mihardja, Suwardi Endraswara, Sukardo Hadisukarno, dan komunitas
Sanggar Triwida Jawa Timur.
Namun jauh berbeda dari kehidupan sastra Indonesia, yang
selain semarak oleh publikasi di berbagai koran, tabloid, dan majalah juga
senantiasa ramai dengan penerbitan buku, sastra Jawa tampak kian hari semakin
langka dari kemunculan buku sastra. Kehadiran Hadiah Rancage yang diprakarsai
Ajip Rosjidi untuk dua kategori, pejuang sastra dan pengarang yang menerbitkan
buku sastra daerah, ternyata tak cukup mampu mendongkrak gairah penerbitan buku
sastra Jawa secara signifikan. Selama lebih dari satu dasawarsa terakhir ini,
setiap tahunnya buku jenis ini yang lahir hanya satu-dua.
Tak
sebatas berwacana, Suparto juga memberikan contoh nyata. Ketika penerbit swasta
tak mau ambil risiko merugi dengan menerbitkan sastra Jawa sementara penerbit
yang dibiayai pemerintah sudah enggan dengan sastra Jawa, Suparto justru mbandhani sendiri terbitnya buku antologi cerkak Trem (2000). Selang empat tahun, Suparto
memodali penerbitan novelnyaDonyane Wong Culika,
yang boleh jadi merupakan novel Jawa terpanjang hingga saat ini. Upaya itu
diulanginya pada tahun 2005 dengan terbitnya antologi cerkak Lelakone Si lan Man.
Menurutnya, ketidaktundukannya pada iklim penerbitan buku Jawa merupakan wujud
tanggung jawabnya demi pengharapannya agar kelak sastra Jawa juga bisa menjadi
sastra dunia, ''sageda dipunwaos tiyang sadonya''.
Mungkin dengan alasan itu pula jika belum lama berselang, dia juga meluncurkan website-nya:
www.supartobrata.com.
Jika Suparto dan sedikit dari pengarang Jawa lainnya
serta beberapa sanggar sastra telah memiliki kenekatan macam itu untuk ''melawan''
iklim kapitalisme dunia penerbitan buku, kiranya patut dipertanyakan adalah
seberapa besar kontribusi institusi yang telah mampu menggelar pertemuan
bahasa-Jawa hingga berbiaya miliaran rupiah? Di mana pula kontribusi perguruan
tinggi yang memiliki program studi sastra Jawa ataupun pendidikan bahasa dan
sastra Jawa? Padahal, dibandingkan dengan dunia para pengarang dan sanggar
sastra Jawa, dua pihak ini relatif ''lebih baik'' dalam hal infrastuktur dan
suprastruktur penerbitan serta distribusinya. Namun agaknya mereka masih
menjadi singa yang terlelap panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar