Sabtu, 31 Oktober 2015

Sejarah Desa Girikusuma

Sejarah Desa Girikusuma

            Terletak di kecamatan Mranggen Kabupaten Demak, di daerah paling selatan kecamatan mranggen ada sebuah desa yang bernama desa Girikusuma. Secara bahasa Girikusuma ini berasal dari kata Giri yang berarti gunung dan Kusuma yang berarti kembang. Jadi dapat di katakan kalau Girikusuma adalah Gunung kembang. Adapula yang mengatakan bahwa kata girikusuma ini di ambil dari nama sesepuh yang makamnya berada di bukit sebelah selatan desa girikusma yakni Syek Ibrahim Kusuma Asmara anak dari Syeh Syaifudin Awwal ( Ky Ageng Pandanaran I ). Giri Kusumo didirikan pertama kali oleh Mbah Hasan Muhibal yang sekarang dikenal sebagai Mbah Hadi.
            Pada suatu hari beliau diutus oleh allah untuk menyebar luaskan agama islam, mbah hasan muhibat meninggalkan tempat belajarnya dan atas perintah gurunya pula yaitu sunan bayat, pada waktu malam Mbah Hadi mendapat petunjuk untuk membangun sebuah pusat pendidikan di tanah yang mirip dengan Mekah. Beliau terus mencari dan berjalan kearah utara akhirnya beliau sampailah di daerah yang dimaksud sebuah hutan berantara yamg dikelilingi oleh gunung, yaitu Gunung Ungaran, di sebelah Barat Gunung Slamet di sebelah Selatan Gunung Solo di sebelah Timur dan Bukit Kecil di sebelah Utara yang sekarang menjadi tempat pemakaman Mbah Hasan Muhibal (Mbah Hadi). Namun pada saat itu di situ sudah ada desa yang berdampingan dengan daerah yang di tujunya, dan desa samping itu bernama desa Mbarang yang dahulunya di dirikan oleh Mbah Ibrahim Kusuma Asmara, yang termasuk anak dari Syaifudin Awwal (Ky Ageng Pandanaran I) yang juga termasuk kakeknya.
            Dalam perjalanannya mencari tempat yang ditujunya, ia bertemu dengan seekor naga, naga yang sangat besar. Naga tersebut melingkari sebuah pohon yang sangar besar dan bercabang tiga, Naga tersebut menyerang mbah hasan muhibat yang hendak menyebarkan islam di tempat yang sudah lama di huni oleh seekor naga tersebut. Naga tersebut marah dan menyerang mbah hasan muhibat, dan rakyatpun tidak terelakkan menjadi sasaran api yang dikeluarkan oleh naga tersebut. Naga tersebut kuwalahan daam menghadapi simbah hadi, maka ia pun meleat-leot kesakitan terkena hantaman tongkat simbah hadi yang berubah menjadi sebuah pedang besar yang mampu memutuskan kepala naga tersebut, dan naga itupun berlarian dan sekarang bekas aliran itu kini menjadi sungai besar yang di gunakan sebagai sumber mata air. Dan kepala naga di kubur di bawah masjid Ageng Girikusuma, dan pada akhirnya naga tersebut kalah dalam pertempuran. Sedangkan Pohon yang bercabang tiga tadi di jadikan sebuah mesjid, dengan ujung atasnya di jadikan bedhug.
Menurut catatan prasasti didinding bagian depan bangunan masjid yang seluruh bangunannya menggunakan satu kayu jati yang bercabang tiga tersebut, masjid itu dibangun hanya dalam waktu 4 jam, dimulai dari jam sembilan malam selesai jam satu malam itu juga. Prasasti yang ditulis dengan menggunakan huruf arab pegon dan bahasanya menggunakan bahasa jawa itu berbunyi :
“Iki pengenget masjid dukuh Girikusumo, tahun ba hijriyah nabi ollallahu alaihi wasallam 1228 wulan rabiul akhir tanggal ping nembelas awit jam songo dalu jam setunggal dalu rampung, yasane Kyai Muhammad Giri ugi saksekabehane wong ahli mukmin kang hadir taqobballahu ta’ala amin”. Dan di atas langit-langit tersebut, ada sebuah langit-langit yang terbuat dari emas.
Dalam perjalanannya, masjid ini pun juga merasakan masa penjajahan, dan ketika masa penjajahan, penjajahpun sampai juga di desa girikusuma, mereka ingin memonopoli serta menjajah, dan tujuan utama mereka adalah mengambil emas yang ada di langit-langit masjid, oleh karena itu, simbah hadi mempunyai siasat untuk mengecat emas itu menjadi putih. Sementara para penjajah di hadapi sendiri oleh simbah hadi. Atas kekuasaan Allah, tongkat mbah hadi di hentakkan ke tanah, dan ajaibnya, semua penjajah langsung mati.
Simbah Hadi pun juga merupakan tokoh yang mempunyai peran penting dalam penciptaan warak ngendog yang kini menjadi maskot kota semarang. Pada masa pemerintahan Adipati Semarang (Adipati Surohadimenggala) atau Sunan Terboyo yang merupakan slah satu murid Simbah Hadi, beliau di minta untuk membuat sebuah acara besar yang dapat menjadi tengara untuk memasuki awal bulan puasa. Maka Simbah Hadipun membuat tengara dari kayu dan rumput yang dibentuk menjadi sesosok hewan, yang melambangkan wujud dari nafsu manusia, yaitu mempunyai sisik, mulutnya menganga dan memiliki siyung serta memiliki wajah yang seram dan bentuk badan yang mirip dengan domba. Tengara itu sebagai gambaran nafsu manusia yang harus dikalahkan melalui puasa. Tengara Simbah Hadi juga di beri telur dibawahnya dan memberi pelajaran kepada Adipati bahwa orang itu harus bisa wira’i atau Warak yang artinya menjaga nafsunya, dan ketika seseorang telah berhasil menahan nafsunya, maka ia akan memperoleh ganjaran atau pahala yang dilambangkan dengan telur atau endog.
Dengan bekal sebauh bangunan masjid yang lokasinya berada dikaki sebuah perbukitan yang rimbun, waktu itu Mbah Hadi oleh Allah SWT, dikaruniai umur yang cukup panjang, sehingga memiliki kesempatan dan waktu yang cukup untuk menyiapkan kader-kader penerus perjuangan yang dirintisnya dikemudian hari, demikian pula denagn anak dan keluarganya Mbah Hadi memiliki perhatian yang sangat besar terutama dalam hal pendidikan. Perhatian ini dibuktikan dengan memondokkan putra-putranya diberbagai Pondok Pesantren di Jawa Tengah maupun Jawa Timur, yang mampu memunculkan generasi penerus semisal Kyai Sirajuddin dan Kyai Mansur. Yang akhirnya Kyai Sirajuddin sepulang dari Pondok ditunjuk untuk meneruskan program pondok pesantren yang telah dirintis ayahandanya, khususnya santri-santri muda, sementara santri tua/torigoh tetap dipegang oleh Mbah Hadi. Sementara Kyai Mansur ditugaskan ayahnya untuk meneruskan perjuangannya didaerah Solo, tepatnya di desa Dlanggu Klaten. Namun Kyai Sirajuddin dikaruniai umur yang pendek oleh tuhan sehingga beliau meninggal mendahului ayahandanya.
Sementara Mbah Hadi meninggal dunia pada tahun 1931 dan selanjutnya tugas kepemimpinan pondok pesantren diteruslan ioleh adik kandung Kyai Sirojuddin yaitu Kyai Zahid.
Mbah Zahid sebagai generasi kedua hanya memimipin pondok dalam kurun waktu 30 tahun. Tahun 1961 tongkat kepemimpinan pondok diserahkan kepada anak tertuanya KH. Muhammad Zuhri yang oleh para santri dan masyarakat dipanggil dengan sebutan Mbah Muh Giri, karena kondisi kesehatanMbah Zahid semakin menurun dan meninggal dunia pada tahun 1967.
Di bawah kepemimpinan Mbah Muh inilah pondok Giri mulai mencoba untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dibidang pendidikan santri, penyajian pendidikan yang selama ini berjalan dengan system bandongan dilengkapi dengan system klasikal, sementara system lama tetap berjalan. Kepemimpinan Mbah Muhammad Zuhri berlangsung selama 19 tahun kemudian kepemimpinan Pondok Pesantren diteruskan putranya KH,. Munif Muhammad Zuhri.
Pada tahun 1997 Kyai Munif mencoba mencari format baru untuk mengembangkan pendidikan dilingkungan pesantren Girikusumo, dengan memdirikan sebuah yayasan Ky Ageng Giri dengan maksud membawahi lembaga-lembaga formal yang mengikuti program pemerintah. Hal ini didasarkan pada orentasi dan kebutuhan masyarakat akan formalitas dengan tidak meninggalkan ciri khas lembaga yang bernaung dibawah pesantren yaitu dominasi religiusitas kurikulum yang diterapkan dilembaga dibawah Yayasan. Adapun lembaga-lembaga yang telah didirikan adalah TK, SD, SMP, dan SMA.
Dengan trobosan baru inilah akhirnya Pondok Pesantren Girikusumo mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga semakin hari semakin bertambah jumlah santrinya. Hal ini disebabkan karena para alumni yang tidak sedikit jimlahnya yang telah menjadi panutan masyarakat, disamping juga berkah dari sang pendiri Syeikh Muhammad Hadi. Hingga kini keberhasilan Pondok Pesantren Girikusumo menyebarluaskan ajarannya hingga menerobos didaerah luar Jawa seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Lombok.


6 komentar:

Unknown mengatakan...

Ini kisah bagus, tapi penulisan ,kurang teliti , ada beberapa yang keliru...!

Unknown mengatakan...

Ini kisah bagus, tapi penulisan ,kurang teliti , ada beberapa yang keliru...!

Unknown mengatakan...

Perlu diteliti lagi, apa betul Pangeran Terboyo itu santrinya Mbah Hadi. Menurut riwayat, kurun waktu Pangeran Terboyo Jauh Sebelum Mbah Hadi

Unknown mengatakan...

Pagapunten, artikel ini saya tulis berdasarkan wawancara dari nenek saya yang saya padukan dengan browsing di internet. Untuk kepastian dari artikel ini saya belum dapat memastikan karena sejauh ini belum ada penelitian lebih lanjut mengenai itu.

Unknown mengatakan...

Mohon untuk penulis,,Girikusumo itu bukan Desa .Melainkan salahsatu dusun di Desa Banyumeneng,Kecamatan Mranggen,Kabupaten Demak.

Unknown mengatakan...

Masih banyak kelemahan dari cerita tersebut .. Mbah hadi berguru kepada siapa... dan mondok dimana? ada hubungan babat alas d girikusumo dengan dusun di sebelah timur girikusuma kurang lebih jaraknyA 3 km