Sejarah Desa Girikusuma
Terletak
di kecamatan Mranggen Kabupaten Demak, di daerah paling selatan kecamatan
mranggen ada sebuah desa yang bernama desa Girikusuma. Secara bahasa Girikusuma
ini berasal dari kata Giri yang
berarti gunung dan Kusuma yang
berarti kembang. Jadi dapat di katakan kalau Girikusuma adalah Gunung kembang.
Adapula yang mengatakan bahwa kata girikusuma ini di ambil dari nama sesepuh
yang makamnya berada di bukit sebelah selatan desa girikusma yakni Syek Ibrahim
Kusuma Asmara anak dari Syeh Syaifudin Awwal ( Ky Ageng Pandanaran I ). Giri Kusumo didirikan pertama kali
oleh Mbah Hasan Muhibal yang sekarang dikenal sebagai Mbah Hadi.
Pada
suatu hari beliau diutus oleh allah untuk menyebar luaskan agama islam, mbah
hasan muhibat meninggalkan tempat belajarnya dan atas perintah gurunya pula
yaitu sunan bayat, pada waktu malam Mbah Hadi mendapat petunjuk untuk membangun
sebuah pusat pendidikan di tanah yang mirip dengan Mekah. Beliau terus mencari
dan berjalan kearah utara akhirnya beliau sampailah di daerah yang dimaksud
sebuah hutan berantara yamg dikelilingi oleh gunung, yaitu Gunung Ungaran, di
sebelah Barat Gunung Slamet di sebelah Selatan Gunung Solo di sebelah Timur dan
Bukit Kecil di sebelah Utara yang sekarang menjadi tempat pemakaman Mbah Hasan
Muhibal (Mbah Hadi). Namun pada saat itu di situ sudah ada desa yang
berdampingan dengan daerah yang di tujunya, dan desa samping itu bernama desa
Mbarang yang dahulunya di dirikan oleh Mbah Ibrahim Kusuma Asmara, yang
termasuk anak dari Syaifudin Awwal (Ky Ageng Pandanaran I) yang juga termasuk
kakeknya.
Dalam
perjalanannya mencari tempat yang ditujunya, ia bertemu dengan seekor naga,
naga yang sangat besar. Naga tersebut melingkari sebuah pohon yang sangar besar
dan bercabang tiga, Naga tersebut menyerang mbah hasan muhibat yang hendak
menyebarkan islam di tempat yang sudah lama di huni oleh seekor naga tersebut.
Naga tersebut marah dan menyerang mbah hasan muhibat, dan rakyatpun tidak terelakkan
menjadi sasaran api yang dikeluarkan oleh naga tersebut. Naga tersebut
kuwalahan daam menghadapi simbah hadi, maka ia pun meleat-leot kesakitan
terkena hantaman tongkat simbah hadi yang berubah menjadi sebuah pedang besar
yang mampu memutuskan kepala naga tersebut, dan naga itupun berlarian dan
sekarang bekas aliran itu kini menjadi sungai besar yang di gunakan sebagai
sumber mata air. Dan kepala naga di kubur di bawah masjid Ageng Girikusuma, dan
pada akhirnya naga tersebut kalah dalam pertempuran. Sedangkan Pohon yang
bercabang tiga tadi di jadikan sebuah mesjid, dengan ujung atasnya di jadikan
bedhug.
Menurut catatan prasasti didinding
bagian depan bangunan masjid yang seluruh bangunannya menggunakan satu kayu
jati yang bercabang tiga tersebut, masjid itu dibangun hanya dalam waktu 4 jam,
dimulai dari jam sembilan malam selesai jam satu malam itu juga. Prasasti yang
ditulis dengan menggunakan huruf arab pegon dan bahasanya menggunakan bahasa
jawa itu berbunyi :
“Iki pengenget masjid dukuh Girikusumo,
tahun ba hijriyah nabi ollallahu alaihi wasallam 1228 wulan rabiul akhir
tanggal ping nembelas awit jam songo dalu jam setunggal dalu rampung, yasane
Kyai Muhammad Giri ugi saksekabehane wong ahli mukmin kang hadir taqobballahu
ta’ala amin”. Dan di atas langit-langit tersebut, ada sebuah langit-langit yang
terbuat dari emas.
Dalam perjalanannya, masjid ini pun
juga merasakan masa penjajahan, dan ketika masa penjajahan, penjajahpun sampai
juga di desa girikusuma, mereka ingin memonopoli serta menjajah, dan tujuan
utama mereka adalah mengambil emas yang ada di langit-langit masjid, oleh
karena itu, simbah hadi mempunyai siasat untuk mengecat emas itu menjadi putih.
Sementara para penjajah di hadapi sendiri oleh simbah hadi. Atas kekuasaan
Allah, tongkat mbah hadi di hentakkan ke tanah, dan ajaibnya, semua penjajah
langsung mati.
Simbah Hadi pun juga merupakan tokoh
yang mempunyai peran penting dalam penciptaan warak ngendog yang kini menjadi
maskot kota semarang. Pada masa pemerintahan Adipati Semarang (Adipati
Surohadimenggala) atau Sunan Terboyo yang merupakan slah satu murid Simbah Hadi,
beliau di minta untuk membuat sebuah acara besar yang dapat menjadi tengara
untuk memasuki awal bulan puasa. Maka Simbah Hadipun membuat tengara dari kayu
dan rumput yang dibentuk menjadi sesosok hewan, yang melambangkan wujud dari
nafsu manusia, yaitu mempunyai sisik, mulutnya menganga dan memiliki siyung
serta memiliki wajah yang seram dan bentuk badan yang mirip dengan domba. Tengara
itu sebagai gambaran nafsu manusia yang harus dikalahkan melalui puasa. Tengara
Simbah Hadi juga di beri telur dibawahnya dan memberi pelajaran kepada Adipati
bahwa orang itu harus bisa wira’i atau Warak yang artinya menjaga nafsunya, dan
ketika seseorang telah berhasil menahan nafsunya, maka ia akan memperoleh
ganjaran atau pahala yang dilambangkan dengan telur atau endog.
Dengan bekal sebauh bangunan masjid
yang lokasinya berada dikaki sebuah perbukitan yang rimbun, waktu itu Mbah Hadi
oleh Allah SWT, dikaruniai umur yang cukup panjang, sehingga memiliki
kesempatan dan waktu yang cukup untuk menyiapkan kader-kader penerus perjuangan
yang dirintisnya dikemudian hari, demikian pula denagn anak dan keluarganya
Mbah Hadi memiliki perhatian yang sangat besar terutama dalam hal pendidikan.
Perhatian ini dibuktikan dengan memondokkan putra-putranya diberbagai Pondok
Pesantren di Jawa Tengah maupun Jawa Timur, yang mampu memunculkan generasi
penerus semisal Kyai Sirajuddin dan Kyai Mansur. Yang akhirnya Kyai Sirajuddin
sepulang dari Pondok ditunjuk untuk meneruskan program pondok pesantren yang
telah dirintis ayahandanya, khususnya santri-santri muda, sementara santri
tua/torigoh tetap dipegang oleh Mbah Hadi. Sementara Kyai Mansur ditugaskan
ayahnya untuk meneruskan perjuangannya didaerah Solo, tepatnya di desa Dlanggu
Klaten. Namun Kyai Sirajuddin dikaruniai umur yang pendek oleh tuhan sehingga
beliau meninggal mendahului ayahandanya.
Sementara Mbah Hadi meninggal dunia
pada tahun 1931 dan selanjutnya tugas kepemimpinan pondok pesantren diteruslan
ioleh adik kandung Kyai Sirojuddin yaitu Kyai Zahid.
Mbah Zahid sebagai generasi kedua
hanya memimipin pondok dalam kurun waktu 30 tahun. Tahun 1961 tongkat
kepemimpinan pondok diserahkan kepada anak tertuanya KH. Muhammad Zuhri yang
oleh para santri dan masyarakat dipanggil dengan sebutan Mbah Muh Giri, karena
kondisi kesehatanMbah Zahid semakin menurun dan meninggal dunia pada tahun
1967.
Di bawah kepemimpinan Mbah Muh
inilah pondok Giri mulai mencoba untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian
dibidang pendidikan santri, penyajian pendidikan yang selama ini berjalan
dengan system bandongan dilengkapi dengan system klasikal, sementara system
lama tetap berjalan. Kepemimpinan Mbah Muhammad Zuhri berlangsung selama 19
tahun kemudian kepemimpinan Pondok Pesantren diteruskan putranya KH,. Munif
Muhammad Zuhri.
Pada tahun 1997 Kyai Munif mencoba
mencari format baru untuk mengembangkan pendidikan dilingkungan pesantren
Girikusumo, dengan memdirikan sebuah yayasan Ky Ageng Giri dengan maksud
membawahi lembaga-lembaga formal yang mengikuti program pemerintah. Hal ini
didasarkan pada orentasi dan kebutuhan masyarakat akan formalitas dengan tidak
meninggalkan ciri khas lembaga yang bernaung dibawah pesantren yaitu dominasi
religiusitas kurikulum yang diterapkan dilembaga dibawah Yayasan. Adapun
lembaga-lembaga yang telah didirikan adalah TK, SD, SMP, dan SMA.
Dengan trobosan baru inilah akhirnya
Pondok Pesantren Girikusumo mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga
semakin hari semakin bertambah jumlah santrinya. Hal ini disebabkan karena para
alumni yang tidak sedikit jimlahnya yang telah menjadi panutan masyarakat,
disamping juga berkah dari sang pendiri Syeikh Muhammad Hadi. Hingga kini
keberhasilan Pondok Pesantren Girikusumo menyebarluaskan ajarannya hingga
menerobos didaerah luar Jawa seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Lombok.
6 komentar:
Ini kisah bagus, tapi penulisan ,kurang teliti , ada beberapa yang keliru...!
Ini kisah bagus, tapi penulisan ,kurang teliti , ada beberapa yang keliru...!
Perlu diteliti lagi, apa betul Pangeran Terboyo itu santrinya Mbah Hadi. Menurut riwayat, kurun waktu Pangeran Terboyo Jauh Sebelum Mbah Hadi
Pagapunten, artikel ini saya tulis berdasarkan wawancara dari nenek saya yang saya padukan dengan browsing di internet. Untuk kepastian dari artikel ini saya belum dapat memastikan karena sejauh ini belum ada penelitian lebih lanjut mengenai itu.
Mohon untuk penulis,,Girikusumo itu bukan Desa .Melainkan salahsatu dusun di Desa Banyumeneng,Kecamatan Mranggen,Kabupaten Demak.
Masih banyak kelemahan dari cerita tersebut .. Mbah hadi berguru kepada siapa... dan mondok dimana? ada hubungan babat alas d girikusumo dengan dusun di sebelah timur girikusuma kurang lebih jaraknyA 3 km
Posting Komentar